Animalifenews.com - Tantangan terbesar yang dihadapi sektor pertanian di Indonesia bukan lagi semata pada aspek teknis produksi, melainkan bagaimana hasil-hasil tersebut dipasarkan secara efisien, adil, dan menguntungkan sehingga para petani menjadi lebih sejahtera. Di sinilah posisi strategis dari pemasaran pertanian sebagai akselerator pengembangan agribisnis sekaligus katalis peningkatan kesejahteraan petani menjadi sangat krusial. Salah satu cara yang ditawarkan pendekatan rantai pendek pemasaran.
“Fakta menunjukkan bahwa
banyak petani gagal menikmati hasil kerja kerasnya karena rendahnya harga jual,
panjangnya rantai distribusi, dan ketiadaan akses pasar yang adil,” ungkap
Prof. Dr. Jamhari, S.P., M.P dalam pidato pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar
dalam bidang Pemasaran Pertanian di Balai Senat UGM, Selasa (15/4).
![]() |
Foto. Guru Besar UGM Prof. Dr. Jamhari S.P., M.P.-ugm.ac.id. |
Dalam pidato pengukuhan yang
berjudul “Pemasaran Pertanian sebagai Akselerator Pengembangan Agribisnis dan
Peningkatan Kesejahteraan Petani”, Jamhari menerangkan bahwa pemasaran
pertanian bukan hanya sekadar aktivitas menjual hasil panen, tetapi mencakup
serangkaian proses kompleks yang melibatkan penciptaan nilai tambah,
distribusi, branding, segmentasi pasar, hingga penguatan posisi
tawar petani di tengah arus kompetisi pasar domestik dan global.
Menurut Jamhari, sistem
pemasaran tradisional yang panjang, rumit, dan dipenuhi banyak perantara telah
lama menjadi salah satu penyebab rendahnya pendapatan petani di Indonesia.
Dalam sistem ini, nilai tambah dari hasil panen petani banyak terserap di
sepanjang rantai distribusi, mulai dari tengkulak, pedagang pengumpul, hingga
pengecer.
“Rantai pemasaran yang
panjang menyebabkan farmer’s share, yaitu bagian pendapatan yang
diterima petani dari harga akhir di konsumen, menjadi sangat kecil, hanya
sekitar 20–40 persen. Ini tidak adil,” tegasnya seperti ditulis laman ugm.ac.id.
Pendekatan Rantai Pendek
Sebagai solusi, Jamhari
mengusulkan pendekatan rantai pendek (short supply chain) yang
memungkinkan petani menjual langsung ke konsumen akhir, pasar lelang, koperasi,
atau mitra dagang tanpa melalui terlalu banyak perantara. Model seperti ini
terbukti secara empiris mampu meningkatkan pendapatan petani hingga 60–80
persen dari harga konsumen, menurunkan food loss, serta mempercepat
distribusi produk segar ke pasar.
“Rantai pendek bukan hanya
efisien secara ekonomi, tapi juga berdampak positif secara sosial dan
lingkungan. Jejak karbon lebih rendah, kualitas produk lebih terjaga, dan
relasi antara petani dan konsumen bisa terbangun dengan lebih manusiawi,” ujar
Jamhari.
Contoh konkret dari
pendekatan ini adalah keberhasilan pasar lelang cabai di Kabupaten Sleman.
Berdasarkan riset yang ia lakukan bersama tim, pasar lelang daring tersebut
mampu berperan sebagai penentu harga (price setter) bagi pasar-pasar
lain di wilayah DI Yogyakarta. Bahkan 5–13% variasi harga cabai di pasar-pasar
lokal Yogyakarta mengikuti harga yang terbentuk di pasar lelang Sleman. Pasar
lelang Sleman terbukti tidak hanya menstabilkan harga, tetapi juga meningkatkan
transparansi dan posisi tawar petani hingga Farmer’s share bisa
mencapai lebih dari 70 persen.
Pemanfaatn Teknologi Digital
Di sisi lain, Jamhari juga
menyoroti pentingnya pemanfaatan teknologi digital dalam menjawab tantangan
pemasaran hasil pertanian. Menurutnya, platform e-commerce,
aplikasi pemasaran berbasis blockchain, hingga analisis big
data untuk prediksi tren pasar menjadi keniscayaan dalam menghadapi
era agrikultur 4.0.
“Pemasaran pertanian masa
depan tidak bisa dilepaskan dari teknologi. Mulai dari traceability produk,
sistem pembayaran digital, pengemasan pintar, hingga pemanfaatan media sosial
untuk branding dan storytelling produk
pertanian lokal,” paparnya.
Namun, ia juga mengingatkan
bahwa transformasi digital ini hanya akan berdampak jika disertai dengan
literasi digital yang memadai di kalangan petani. Oleh karena itu, pelatihan
dan pendampingan menjadi syarat mutlak. Koperasi, perguruan tinggi, pemerintah,
dan startup perlu membangun ekosistem pelatihan yang inklusif
agar petani tidak tertinggal dalam arus digitalisasi pasar. Selain itu,
amalgamasi kelembagaan seperti KUD korporasi dan penguatan Gapoktan sebagai
lembaga ekonomi baru petani juga menjadi langkah strategis untuk memperbesar
skala usaha dan meningkatkan efisiensi. “Kita perlu membangun ekosistem
pemasaran inklusif yang memberdayakan petani, mendorong riset terapan berbasis
teknologi, dan memperkuat kolaborasi pentahelix agar petani
bisa naik kelas menjadi pelaku pasar yang sejahtera,” pungkasnya.
Ketua Majelis Dewan Guru
Besar UGM, Prof. Dr. M. Baiquni, M.A., menyampaikan bahwa dengan
pengukuhan ini, Prof. Jamhari menjadi bagian dari 528 Guru Besar aktif
Universitas Gadjah Mada, sekaligus memperkuat barisan 62 Guru Besar aktif yang
dimiliki oleh Fakultas Pertanian UGM. Capaian ini tidak hanya memperkuat posisi
UGM sebagai pusat keunggulan akademik di bidang pertanian, tetapi juga menjadi
bagian dari warisan keilmuan yang terus tumbuh, menyemai pemikiran dan
pengabdian bagi kemajuan bangsa. (Dda)
0 Komentar