Animalifenews.com – Ajang Singapore International Energy Week (SIEW) yang digelar pada pertengahan Oktober 2024 memperlihatkan masih adanya perbedaan pendapat antara berbagai pihak tentang nasib pemanfaat bahan bakar fosil, khususnya, minyak bumi, sehubungan makin kuatnya tuntutan negara-negara di dunia akan target pengurangan carbon untuk mencegah pemanasan global.
Perbedaan tersebut
diantaranya terlihat pada pernyataan Amin Nasser, CEO perusahaan minyak raksasa
Saudi Aramco dengan Fatih Birol, Direktur Eksekutif Badan Energi Internasional.
Foto.Fatih Birol-channelnewsasia.com |
Menurut Birol, permintaan
minyak global berada di posisi puncak pada tahun 2030 karena perlambatan
ekonomi Tiongkok dan meningkatnya adopsi kendaraan listrik, di antara
faktor-faktor lainnya.
Direktur eksekutif
organisasi tersebut, Fatih Birol, menjelaskan pada Roland Lim dari media CNA
alasan proyeksi ini di sela-sela Singapore International Energy Week.
Fatih Birol mencatat, Tiongkok
bertanggung jawab atas lebih dari 60 persen pertumbuhan permintaan minyak
global selama dekade terakhir, untuk memenuhi ekonominya yang berkembang pesat.
Sejak itu telah berubah.
“Sektor transportasi adalah sektor utama (yang
mendorong permintaan minyak). Sektor ini akan dialiri listrik. Sektor ini telah
dimulai,” tambahnya seperti ditulis dalam laman channelnewsasia.com.
Harga minyak yang tidak meroket meskipun ada masalah
geopolitik di Timur Tengah - pusat produksi dan transportasi minyak - merupakan
indikasi lain bahwa permintaan minyak melemah, tambahnya.
"Saya yakin permintaan minyak pada tahun 2050
akan jauh lebih sedikit daripada saat ini," katanya kepada CNA.
Komentarnya muncul sehari setelah Amin Nasser, CEO
perusahaan minyak raksasa Saudi Aramco, mengatakan bahwa konsumsi minyak
kemungkinan akan meningkat hingga tahun 2050 karena permintaan dari
negara-negara berkembang.
Namun, minyak akan terus menjadi bagian dari bauran
energi global, kata Birol.
Energi Nuklir
Permintaan listrik yang terus meningkat akan dipenuhi
oleh sumber energi terbarukan, termasuk tenaga nuklir, tambah Birol.
Dia mengatakan bahwa meskipun bencana Fukushima pada
tahun 2011 - yang melepaskan sejumlah besar bahan radioaktif ke lingkungan -
memperlambat pengembangan energi nuklir, energi tersebut mengalami
"kebangkitan besar dan kuat" di seluruh dunia di negara-negara
seperti Jepang, Korea Selatan, dan Cina. "Hal ini terjadi dalam dua cara:
Pertama, membangun pembangkit listrik tenaga nuklir skala besar baru, dan
kedua, mendorong reaktor modular kecil yang dapat memasok listrik ke pusat
data," katanya kepada CNA.
Ia menambahkan bahwa energi nuklir, yang saat ini
merupakan sumber produksi listrik rendah karbon terbesar kedua di dunia setelah
tenaga air, dapat menjadi bagian integral dari bauran energi dunia di
tahun-tahun mendatang.
Ia juga berbicara tentang peningkatan permintaan batu
bara sebesar 3 persen per tahun tahun lalu, yang ia kaitkan dengan Tiongkok.
“Di belahan dunia lain, kita melihat (bahwa)
permintaan batu bara global menurun, tetapi di Tiongkok, (seperti) yang kita
lihat tahun lalu, permintaan batu bara meningkat terutama … sebagai akibat dari
(masalah) tenaga air Tiongkok,” katanya.
“Pembangkitan listrik sangat buruk karena tahun itu
sangat kering.”
Namun, ini akan berlangsung singkat dan permintaan
batu bara Tiongkok akan menurun, tambahnya.
Perlunya Pembiayaan Iklim
Seperti ditulis laman channelnewsasia.com, Birol
juga berbicara tentang alokasi sumber daya yang tidak proporsional untuk
investasi dalam energi terbarukan.
Ia mengatakan US$3 triliun dianggarkan untuk sektor
energi secara global, US$2 triliun di antaranya untuk energi bersih.
Tetapi hanya 15 persen dari jumlah US$2 triliun ini
yang akan digunakan untuk negara-negara ekonomi berkembang, tempat tinggal dua
pertiga populasi global.
“Jadi kita harus memperbaikinya. Kita harus
memastikan bahwa negara-negara berkembang juga memiliki akses terhadap
investasi energi bersih.”
“Jika kita hanya mengandalkan dua jalur, yaitu
negara-negara maju dan Tiongkok, dan negara-negara lain di dunia, kita tidak
akan pernah mencapai tujuan iklim kita,” imbuhnya.
Pada perundingan iklim tahunan Perserikatan
Bangsa-Bangsa COP28 tahun lalu, hampir 200 negara sepakat untuk bekerja menuju
serangkaian tujuan energi global yang ambisius, dengan janji untuk mencapai
emisi nol bersih dari sektor energi global pada tahun 2050.
Mereka juga berkomitmen untuk beralih dari bahan
bakar fosil, melipatgandakan kapasitas energi terbarukan, dan menggandakan laju
peningkatan efisiensi energi pada tahun 2030, serta mempercepat penerapan
teknologi rendah emisi lainnya.
Birol mengatakan bahwa COP29 mendatang dari tanggal
11 hingga 22 November di Azerbaijan akan menjadi uji kasus penting bagi
negara-negara tersebut untuk menentukan apakah mereka ingin beralih dari
investasi energi dua jalur agar memiliki pandangan yang lebih homogen. (DDA)
0 Komentar