Animalifenews.com – Pakar-pakar Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyerukan dibentuknya sistem global untuk melacak ekstraksi dan produksi mineral-mineral penting yang dibutuhkan dalam transisi energi dari bahan bakar fosil.
Upaya besar-besaran untuk mengembangkan energi
terbarukan, yang penting dalam perang melawan perubahan iklim, membutuhkan
mineral dan logam seperti tembaga, kadmium, nikel, dan litium untuk baterai
kendaraan listrik, panel surya, dan banyak lagi.
Foto.Sumber Listrik Tenaga Surya di China-AFP-rfi.fr |
Permintaan akan bahan-bahan tersebut akan meningkat
empat kali lipat pada tahun 2040 karena negara-negara berlomba-lomba untuk
membatasi pemanasan global hingga +1,5
derajat Celsius, menurut perkiraan Badan Energi Internasional (IEA).
Para pakar – perwakilan dari organisasi-organisasi
nonpemerintah dan berbagai kementerian pertambangan dan lingkungan hidup negara
– merupakan bagian dari komite PBB yang dibentuk pada April lalu oleh
Sekretaris Jenderal Antonio Guterres untuk menyusun pagar pembatas dalam
menghadapi revolusi energi yang akan datang.
"Kami membentuk panel tersebut sebagai tanggapan
atas seruan dari negara-negara berkembang, di tengah tanda-tanda bahwa transisi
energi dapat mereproduksi dan memperkuat ketimpangan di masa lalu," kata
Guterres pada Rabu (10/9/2024).
Ia meminta panel tersebut untuk membagikan
rekomendasinya dengan negara-negara anggota PBB, menjelang COP29 di Baku,
Azerbaijan, pada November.
"Kami akan menyatukan sistem PBB untuk mendukung
pelaksanaan pekerjaan panel, menjaga dan memajukan hak asasi manusia, termasuk
hak-hak Masyarakat Adat, di seluruh rantai nilai mineral penting," kata
Guterres seperti ditulis AFP yang dikutip di laman rfi.fr.
Afrika 'berdarah'
Dalam sebuah laporan yang dirilis pada Rabu (10/9/2024),
komite tersebut mengajukan tujuh prinsip panduan. Prinsip-prinsip tersebut
meliputi: menempatkan hak asasi manusia di jantung rantai produksi; melindungi
integritas planet ini; dan memastikan bahwa membagi manfaatnya.
"Inti dari laporan ini adalah untuk
menginspirasi kepedulian dan kehati-hatian untuk menghindari kesalahan masa
lalu, di mana kita sudah melihat konflik yang ditimbulkan oleh perebutan sumber
daya ini, khususnya di benua saya yang sedang berdarah," kata salah satu
ketua Joyce Mxakato-Diseko dari Afrika Selatan.
Lebih konkret lagi, para ahli, dengan mengutip
berbagai inisiatif yang ada, merekomendasikan pembentukan "kerangka
ketertelusuran, transparansi, dan akuntabilitas global di sepanjang seluruh
rantai nilai mineral – dari penambangan hingga daur ulang."
Mereka meminta agar sistem tersebut memberikan
penilaian independen terhadap kinerja lingkungan dan sosial perusahaan yang
terlibat dalam perdagangan tersebut – misalnya, penghormatan mereka terhadap
hak asasi manusia dan hak buruh, tingkat korupsi, tingkat emisi gas rumah kaca,
dan sebagainya.
Mereka juga mengusulkan pembentukan dana global yang
dibiayai oleh pemerintah dan perusahaan, untuk mendanai dampak operasi
penambangan – khususnya rehabilitasi lahan dan dukungan bagi masyarakat lokal.
Dan, seperti ditulis laman rfi.fr lagi dengan
kekhawatiran IEA bahwa persediaan global mineral tersebut akan habis, para ahli
PBB juga meminta investasi dalam inovasi dan daur ulang untuk mengurangi jumlah
yang dibutuhkan.
Koalisi LSM Climate Action Network, yang
terwakili dalam komite tersebut, menyambut baik laporan tersebut. Namun,
"masih ada jalan panjang yang harus ditempuh untuk mewujudkan
prinsip-prinsip ini," kata direkturnya, Tasneem Essop.
Terlalu sering, "produksi mineral ini
meninggalkan awan beracun: polusi; masyarakat yang terluka, masa kanak-kanak
yang hilang karena pekerjaan dan terkadang meninggal dalam pekerjaan
mereka," kata Guterres ketika ia mengumumkan komite tersebut pada April
lalu.
Negara-negara berkembang dan masyarakatnya juga belum
menikmati manfaat dari produksi mereka, katanya, seraya menambahkan: "Ini
harus diubah." (DDA)
0 Komentar