WALHI, ORGANISASI MASYARAT SIPIL, DAN WARGA RAYAKAN HARI KEMERDEKAAN DI DEKAT IKN

Tak jauh dari lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN), pada Sabtu (17/8), sejumlah organisasi masyarakat sipil dan warga di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, menggelar serangkaian kegiatan untuk memperingati hari Kemerdekaan Indonesia. Namun berbeda dengan mewahnya acara yang dipimpin Presiden Joko Widodo, perayaan ini menjadi momen bagi masyarakat untuk menyuarakan berbagai keresahan tentang kerusakan lingkungan hidup di Tanah Air.

Foto.Perayaan Hari Kemerdekaan-Walhi 


Rangkaian acara dibuka dengan upacara memperingati hari ulang tahun Kemerdekaan Indonesia yang ke-79. Puluhan masyarakat dari sejumlah desa serta organisasi masyarakat sipil menggelar upacara bendera di kawasan Pantai Lango, Kecamatan Penajam. Acara dilanjutkan dengan pembentangan sebuah kain merah berukuran 50x15 meter dengan corak tulisan putih berbunyi “Indonesia is not for sale, Merdeka!” di Jembatan Pulau Balang oleh sejumlah aktivis Greenpeace.

Sejumlah banner lainnya terkembang dari atas perahu-perahu kayu yang melakukan parade kemerdekaan di perairan di bawah jembatan. Beberapa di antaranya bertuliskan “Selamatkan Teluk Balikpapan”, “Tanah untuk Rakyat”, “Digusur PSN, Belum Merdeka 100%”, “Belum Merdeka Bersuara”, “79 Tahun Merdeka, 190 Tahun Dijajah”, dan lainnya.

“IKN adalah wajah paripurna dari ilusi kemegahan dalam perayaan kemerdekaan 79 tahun. Kebanggaan nasionalisme dan kebangsaan kita dijebak pada kemegahan infrastruktur semata. Fakta lapangannya, seperti konflik agraria, dampak ekologis hingga kriminalisasinya dikaburkan. Proyek pembangunan IKN juga melahirkan silent victims, seperti orangutan, bekantan, pesut, dan keanekaragaman hayati di lanskap Teluk Balikpapan, yang habitat dan eksistensinya terancam tapi mereka tak bisa bersuara,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kaltim, Fathur Roziqin Fen, melalui siaran persnya.

Proyek IKN telah terbukti mengancam keanekaragaman hayati. Pembangunan IKN membabat habis lebih dari empat hektar mangrove di hulu Teluk Balikpapan – yang menjadi akses jalur perairan untuk alat-alat berat. Penghancuran mangrove dan arus mobilitas yang masif di teluk–yang sejak lama menjadi habitat pesut, duyung, serta buaya muara–mengganggu ekosistem fauna sehingga kerap berkonflik dengan warga  lokal beberapa tahun terakhir.

“Kebijakan ini semakin menandakan masyarakat pesisir belum merdeka dalam mengelola wilayah pesisir dan laut sendiri. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk habitat flora dan fauna di sekitarnya, kian rentan dikorbankan untuk pembangunan oligarki. Kebijakan ini menjadi ironi di hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-79 ini,” kata Direktur Eksekutif Pokja Pesisir Balikpapan, Mappaselle. (DDA)

 

Posting Komentar

0 Komentar